Mengenai hukum kotoran cicak apakah najis ataukah suci, masalah ini kembali pada pembahasan apakah cicak itu sendiri masuk hewan yang darahnya mengalir sehingga kotorannya dihukumi najis karena termasuk hewan yang haram dimakan ataukah termasuk hewan yang darahnya tidak mengalir yang nanti akan dihukumi kotorannya itu suci.
Menurut pendapat yang menyatakan bahwa cicak termasuk hewan yang darahnya tidak mengalir, kesimpulannya kotorannya tidaklah najis.
Ibnu Qudamah menerangkan mengenai hewan yang haram dimakan dirinci menjadi:
1- Hewan yang kotorannya bisa dihindari. Di sini ada dua macam:
a- Anjing dan babi. Keduanya najis untuk seluruh tubuhnya dan juga kotorannya, begitu pula yang terpisah dari tubuhnya.
b- Hewan buas selain anjing dan babi seperti burung, keledai jinak, menurut pendapat Imam Ahmad, seluruh tubuhnya dan kotorannya najis. Kecuali yang jumlahnya sedikit, najisnya dimaafkan. Dari pendapat beliau, ada juga yang menunjukkan bagian yang suci. Hukumnya adalah seperti pada manusia yaitu sesuatu yang terpisah dari manusia.
2- Hewan yang kotorannya sulit dihindari. Di sini ada dua macam:
a- Hewan yang najis ketika mati. Yaitu kucing dan yang mirip dengannya. Kotorannya, hukumnya sama dengan kotoran manusia, dihukumi najis. Kecuali bagian yang suci yang sama pada manusia, dihukumi suci. Adapun pembahasan maninya tetap dihukumi najis. Karena mani manusia adalah awal penciptaan manusia. Mani tersebut dianggap mulia (suci) karena kemuliaan manusia dan keadaan ini berbeda dengan kucing.
b- Hewan yang darahnya tidak mengalir, bagian tubuhnya itu suci, begitu pula kotorannya. Demikian penjelasan dari Ibnu Qudamah dalam Al Mughni.
Sedangkan pendapat lain menganggap bahwa cicak termasuk hewan yang darahnya mengalir dan cicak haram dimakan, sehingga kotorannya najis. Al Mardawi Al Hambali dalam Al Inshaf menyatakan bahwa yang shahih dalam pendapat madzhab, cicak termasuk hewan yang darahnya mengalir, sama halnya seperti ular.
Kesimpulannya, kebanyakan ulama berpendapat bahwa kotoran najis yang sedikit dari hewan yang sulit dihindari dimaafkan (al ‘afwu).
Jika ada yang mau hati-hati dengan tetap menghindari kotoran tersebut pada baju dan tempat shalatnya, itu lebih baik. Wallahu a’lam.
Pembahasan di atas dikembangkan dari Al Mughni dan Fatwa Islam Web.
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, 27 Jumadal Ula 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com